Aku sulit untuk ungkapin semuanya. Semua yang sebenernya pengen banget aku ungkapin. Dan blog ini, telah membantuku mengatasi semuanya. Enjoy w/ my blog :)
Rabu, 24 Agustus 2011
Tanpa Judul
Hei, blog ;) Numpang make postingan ini buat namain kamu yaa \=D/ Sama sekalian curcol dikit boleh dong *ting ting* Aku namain domo deh. Soalnya aku suka banget sama boneka domoo, walo blm punya hiks abis carinya susahnya masyarakat ._.v Hyak, mulai cerita aja ya. Hari ini, masih sama. Ga ada perubahan, Mo. Ada sih, dikit. Bedanya, kemaren aku ga mikirin ini. Eeeh, tiba-tiba hari ini aku keinget lagi. Jujur. Jujur aku pengen banget kaya temen-temenku. Mereka pada punya pasangan. Heyy! Wake up! Truk aja punya gandengan, aku? Masih sama. Monoton. Standar. Konstan. :") Miris banget, yagasih, Mo? Yang lain pada nonton lah, jalan lah, makan lah, hang out lah. Aku? mbatang di rumah. Jamuren dirumah. Karaten di rumah. Cuma berduaan sama laptop lama-lama. Ngecek followers twitt nambah kaga, ada friend request fb kaga, sama otak-atik kamu doang, Mo. Maklum blog baruuu ahaha. Tapi ya gimana lagi, udah jalanku buat kaya gini. Kadang sering envy, temen-temen yg bahkan lebih muda dari aku udah duluan dapet daripada aku. Hihi maklum saya selektif bero 3-) *pede. Tapi emang di suruhnya gitu sama ortu. Harus selektif, cari yang bener-bener baik. Dan yang paling penting, JANGAN GONTA-GANTI. Kata mamah, cewe/cowo yang demen gonta-ganti pacar bukan berarti dia itu laku. Tapi orangnya mau-an *ups maaf cuma nasihat ortu sajo :) Aku nurut ajaa, yakin deh nasihat ortu pasti yang terbaik. Akhirnya nih, aku bener-bener selektif bero! haha -_- jadinya malah ga dapet-dapet kan uhhhh rawer. Sekarang nih, malah aku lagi ga ada feel sama siapa-siapa. Rasanya hampa bgt. Beda sama dulu. Trus skg lagi coba buat ngefeel sama orang. Tapi ga berhasil ._. Sekarang aku cuma bisa p to the a to the s to the r to the a to the h. Karena pasti ada waktunya, walau bukan sekarang :))
Selasa, 23 Agustus 2011
Galaw :3
Apa kamu pernah merasakan? Menyukai seseorang dan memilih untuk mengaguminya secara diam-diam? Dimana akhirnya, banyak orang yang merasa tersakiti. Bahkan saling menyakiti satu sama lain. Namun, mulut ini terasa kaku, kelu, sehingga tak bisa menyatakan yang sesungguhnya. Bahwa aku, menyayangi kamu. Lebih dulu dari orang itu.
Puisi \(^u^)/
Riak-riak air sungai berderik
Merengkuh bulir bebatuan kecil
Jauh menelusuri genangan-genangan dangkal
Mencuat naik tatkala menabrang karang
Galur-galur cahaya matahari
Merembes masuk melalui
Celah-celah ranting pepohonan
Pepohonan pinus di pinggir sungai bebatuan
Anak itu berlari
Seakan mengejar cahaya matahari
Namun cahaya itu semakin dikejar semakin pergi
Pergi tertutup gumpal awan yang suci
Berlarilah lagi anak yang tadi
Gemeretak ranting-ranting berduri
Tak dipedulikannya lagi
Dia harus mengejar, mengejar cinta yang semakin dikejar semakin pergi
Seperti cahaya matahari
Merengkuh bulir bebatuan kecil
Jauh menelusuri genangan-genangan dangkal
Mencuat naik tatkala menabrang karang
Galur-galur cahaya matahari
Merembes masuk melalui
Celah-celah ranting pepohonan
Pepohonan pinus di pinggir sungai bebatuan
Anak itu berlari
Seakan mengejar cahaya matahari
Namun cahaya itu semakin dikejar semakin pergi
Pergi tertutup gumpal awan yang suci
Berlarilah lagi anak yang tadi
Gemeretak ranting-ranting berduri
Tak dipedulikannya lagi
Dia harus mengejar, mengejar cinta yang semakin dikejar semakin pergi
Seperti cahaya matahari
Masa Lalu :)
Ehalo, asamlekum 0:) mau cerita nih, jaman dahulu #apa-apaan ._. To de point deh yaa, gini lho. Anu, itu lho.. Anu.. anu *mah ngopo. Psst, diem yah. Ini rahasia. Jadi, tutup bibirmu rapat-rapat. Jangan sampe ada yang tau tentang hal ini. Karena apa? Ya karena ini RAHASIA! Jadi jangan kasih tau temen sebangkumu, orang terdekat, ato sapapun itu. Diem lho ya. Sini-sini, ikut aku. Kesitu. Di pojok situ. Biar ga ada yang tau. Udah jangan banyak tanya, jangan banyak gerak, jangan banyak ngeluarin suara. Duluuuu, dulu banget. Aku.. Duh jadi maloee :3 Aku suka sama orang, kenalnya lewat jejarig sosial. Terus dia minta no. hp. Terus smsan. Terus pdkt hahah. Gatau kenapa ya, aku rada ngefeel sama tu orang. Padahal ga pernah ketemu lho sueeer -,- Nah, ndelalah dia bilang juga suka sama aku #alhamdulillah yaah (?) TAPI, kita ga pacaran. Soalnya ga ada dor-doran. Yaudah jalani aja sambil nenteng predikat HTS :) Ga berlangsung lama sih ya, terus dia minta udahan. Awalnya aku ga pengen. Sampe-sampe aku nangis darah kejer guling-guling salto di udara :'( *oke deal yg ini lebay -__- Intinya aku ga mau lah. Aku nangis. Tapi yaudahlah mo gmn lagi. Aku udah ga bisa ngapa-ngapain. Aku nurut. Terus dia ngirimin sms terakhir dia buat aku (lebay puol). Di paling bawah smsnya dia nulis "Fiaa, aku sayang kamu". Hening. Aku ngefly. Bentar doang, terus turun lagi. Nyampe bawah, aku sedih. Kenapa ini semua berakhir secepat kilat yang menggores bentangan langit? Ah, sebodo banget. Besoknya aku udah ngejalanin hari kaya biasanya. Ga ada sedih. Sedih itu udah aku ketapel ke langit ke tujuh. Ga mau dan ga pernah mau liat sedih itu balik lagi ke aku. Aku pengen jadi aku yang dulu. Ga ada sedih-sdihan, no more mellow say no to galaw :3 Udah. Habis itu total-totalan lost contact sama dia. Nomer hpnya udah aku hapus. Semuanya yang bisa ingetin aku sama dia udah aku coba buat pendem dalem-dalem. Trus aku dikasih saran sama temenku buat nge-remove fbnya dia. Awalnya aku ga mau. Soalnya fb itu satu-satunya yang bisa aku andelin buat ngeliat status-statusnya wkwk. Tapi endingnya aku juga nurut. Waktu mau aku remove, TERNYATA dia udah remove aku duluaaan. Ihh sumpah ya itu sakit banget rasanya. Aku terlambat. I'm late. Too late! Oh cidaaaks :O *eaaa ngedan--" Beberapa bulan abis itu, aku sama temenku mau ikut nemenin temenku sama temenku lagi *nahlo? les b.indo di sebuah smp di gudeg city. Aku ikut soalnya biar nanti ke neutronnya bisa bareng sama 2 temenku. Temenku yg satunya lagi ada kepentingan tersendiri. Pssst, sebenernya aku juga punya kepentingan tersendiri. Jangan salah sangka! Ini bukan kaya yang kalian pikirin kok. Beneran deh. Habis itu.. #skiiip# Nah, sekarang aku udah ga lost contact lagi, perasaanku sama dia juga ga selebay dulu lagi. Malah udah hampir ilang. Bagus deh :D Semoga bisa sepenuhnya ilang. Aku lebih pengen jadi temennya aja, ge lebih ga kurang :)
Rabu, 17 Agustus 2011
Ketika Wanita Menangis, by: Wndhy Puspitadewi. Kutipan buku, "Let Go"
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya,
melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya,
melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan karena dia ingin terlihat lemah,
melainkan karena dia sudah tidak sanggup lagi berpura-pura kuat.
itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya,
melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya,
melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan karena dia ingin terlihat lemah,
melainkan karena dia sudah tidak sanggup lagi berpura-pura kuat.
Sebuah cerpen. Karyaku yang berjudul, "Kehilangan"
Musim dingin. Dua anak kecil bersweater tebal bertopi rajut mulai berlarian di sebuah taman di tengah kota Paris. Mereka membuat gundukan salju kecil kecil, setengah besar, dan sebuah gundukan besar. Mereka kemudian menggabungkan gundukan setengah besar dan yang paling besar. Yang setengah besar di atas, dan yang paling besar dibawah. Anak perempuan kecil bersyal hijau mendekat sambil membawa dua buah kerikil, kemudian ditempelkannya kerikil itu di atas gundukan yang atas agar terbentuk seperti sepasang mata. Anak lelaki kecil bertopi biru mendekat ke arah boneka salju buatan tangan itu sambil membawa sehelai daun yang berbentuk bulan sabit. Kemudian ia meletakkan daun itu di bawah dua kerikil tadi agar terbentuk sepertibsebuah ulasan senyum yang tersungging di wajah si boneka salju. Anak perempuan kecil bersyal hijau itu tersenyum, memicingkan kepalanya, lalu berlari ke arah pohon besar yang tertutup salju tebal. Dia seperti mencari-cari sesuatu, wajahnya terlihat gelisah sekali. Setelah menemukan apa yang dia cari, wajahnya berubah cerah. Senyumnya mengembang indah. Diambilnya dua ranting kecil yang terletak tak jauh dari pohon besar tadi dan berlari kearah boneka salju buatannya. Lelaki kecil bertopi biru tadi melihat ke arahnya dengan tatapan aneh, dia berpikir sejenak, lalu tersenyum seakan mengerti maksud anak perempuan kecil itu. Dia mengambil sebuah ranting dari tangan mungil anak perempuan itu dan menancapkannya ke samping kiri bagian bawah boneka salju. Anak perempuan kecil itu tertawa renyah seraya menancapkan sisa ranting yang dipegangnya ke samping kanan bagian bawah boneka salju. Mereka saling berpandangan dan tersenyum. Merasa puas dengan jerih payah mereka, kemudian mengambil gundukan salju kecil-kecil yang sudah terkumpul cukup banyak di sebelah boneka salju dan saling lempar bola-bola salju. Mengasyikan sekali.
Setelah merasa lelah, mereka duduk di sebuah kursi besi tua yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat mereka bermain tadi.
“Asyik sekali liburan kita, Ve.” kata anak lelaki bertopi biru.
“Aku pingin selalu merasa seperti ini. Selalu gembira dan seperti sepasang anak kecil yang tidak punya beban sama sekali. Orang tua itu ribet, ya. Mereka sepertinya jarang sekali bersenang-senang seperti kita. Mereka selalu sibuk bekerja, kadang sampai begadang semalaman. Kadang juga marah-marah tidak jelas. Sepertinya rumit sekali hidup mereka.”
Anak perempuan kecil bersyal hijau mendesah pelan, “Iya, sih. Tapi mereka melakukan semua itu kan demi kita. Kalau mereka tidak bekerja, bagaimana kita bisa makan? Nanti kita kelaparan dan tak lama lagi akan mati. Tapi aku bangga, Cell, sama mereka. Mereka akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk membuat anak-anaknya senang.”
“Ahh! Itu, kan, orang tuamu. Orang tuaku? Mereka tidak pernah mempunyai waktu untuk bermain denganku. Sedikitpun. Mereka selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri. Mereka seperti menganggap aku tidak pernah ada. Mereka tidak membutuhkanku. Aku yakin suatu saat nanti ketika aku beranjak dewasa, aku juga tidak akan membutuhkan mereka. Mereka lebih memilih pekerjaan daripada aku, anaknya sendiri.”
Anak lelaki yang bernama Marcell tersebut menunduk. Tidak terasa butiran hangat yang sejak tadi tertahan keluar dari pelupuk matanya. Cepat-cepat ia menyekanya. Ia merasa air matanya tidak pantas ia keluarkan hanya untuk menangisi orang tuanya. Orang tua yang bahkan tidak menghadiri wisuda kelulusan Tknya. Bukan hal muluk yang diharapkannya saat itu. Ia tidak mengharapkan hadiah atas prestasinya sebagai juara kelas. Ia bahkan tidak mengharapkan menjadi juara kelas, toh orang tuanya tidak akan peduli dia juara kelas atau tidak. Yang Marcell inginkan adalah.. Kehadiran. Kehadiran orang tua yang amat disayanginya, yang lambat laun mulai dibencinya.
“Aku iri sama kamu, Ve. Sesibuk-sibuknya orang tua kamu, orang tua kamu masih peduli dan sayang sama kamu. Tanpa orang tua kamu, mana mungkin aku ada di sini. Di kota Paris yang indah ini. Jauh dari jangkauan orang tuaku. Yah, setidaknya aku bisa lebih tenang di sini. Makasih. Makasih buat kamu, orang tua kamu, dan seluruh keluarga kamu. Dengan berada di tengah-tengah keluargamu sebagai sahabat kamu, aku mendapatkan ribuan kasih sayang yang sama sekali belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kalau tidak ada kamu dan keluarga kamu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana buruknya hidupku. Aku saja tidak ingat masa kecilku dulu ketika aku berumur 2 atau 3 tahun. Apakah aku bahagia atau justru sebaliknya. Keluargamu seperti keluarga kedua aku, Vea. Makasih.” Marcell menunduk lagi.
Anak perempuan kecil bersyal hijau bernama Vea tersebut heran mendengar semua penuturan Marcell. Dia menghela nafas pelan. Lalu berujar,
“Cell, kamu tenang aja. Kamu masih punya aku, bunda aku, ayah aku, dan kak Theo yang sayang sama kamu. Aku dan keluargaku ga akan pernah ninggalin kamu.”
Marcell mengangkat wajahnya, lalu tersenyum senang. Ia mengangkat jari kelingkingnya ke arah Vea.
“Janji?” Vea mengedikkan bahu lalu tertawa dan menjawab, “Janji.”
Marcell dan Vea kini baru duduk dikelas 4 SD di sebuah sekolah dasar di Yogyakarta. Di liburan tengah semester ini, orang tua Vea mengajak anak-anaknya dan Marcell berlibur di kota Paris. Kota yang selau ramai dikunjungi wisatawan manca negara. Marcell sendiri sebenarnya tidak mau pergi ke kota yang sama sekali belum pernah dikunjunginya. Ia takut jika orang tuanya marah. Lagipula ia tidak mau terus-menerus merepotkan keluarga Vea. Walaupun sebenarnya keluarga Vea tidak pernah merasa direpotkan sama sekali. Marcell jadi tidak tega kepada Vea yang terus merengek kepadanya agar Marcell bisa turut ikut serta pergi berlibur bersamanya. Akhirnya setelah orang tua Vea membujuk orang tua Marcell selama kurang lebih 2 jam, Marcell diperbolehkan ikut bersama keluarga Vea.
“Vea! Marcell!” terdengar suara bunda Vea dari apartemen yang terletak di seberang taman.
Vea dan Marcell menengok ke arah sumber suara.
“Iya, Bun?”
“Ayo pulang, waktunya makan.”
“Oke, siap 86!” Vea dan Marcell menjawab serentak sambil bergaya ala police 86.

7 Tahun kemudian.
Tok..Tok..Tok..
”Cell? Disuruh bunda mandi tuh. Udah magrib lho! Ayo buruan!” ucap Vea dari luar kamar Marcell. Saat ini memang Marcell sedang menginap di rumah Vea. Untuk beberapa hari.
Marcell masih memegangi sesuatu di tangannya, mengusap, lalu menciumnya. Diletakkannya barang itu tadi di bawah bantalnya.
”Aku sayang kalian.” gumam Marcell pelan. Air matanya menitik, membasahi pipinya. ”Setidak peduli apapun kalian terhadapku.”
Marcell cepat-cepat menyeka air matanya lagi. Berusaha tetap tersenyum di depan Vea. Berpura-pura kuat, padahal kenyataan justru sebaliknya.
Tok..Tok..Tok..
Vea mengetuk pintu lagi.
”Cell? Kamu ga mati di dalem kan?” Vea mulai panik.
”Aku ga mati, tapi semedi.”
KREK.. Pintu dibuka.
”Ya ampuun, bukain pintunya lama banget sih! Dimana alat semedinya? Aku mau liat!” kata Vea sambil menarik lengan baju Marcell.
”Di hati akuuu, hahaha” Marcell langsung ngeloyor pergi ke kamar mandi terdekat.
Vea memutar bola matanya, lalu tersenyum. Marcell adalah hiburannya. Ditengah sakit yang mulai menggerogoti tubuh kecilnya.
Ia kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh kamar ’sementara’ Marcell. Ia melotot. Matanya seakan-akan ingin keluar dari peraduannya.
”Astagaaa :O, ini kamar apa gudang?”
Ia lalu mengambil bed cover yang tergeletak di dekat tempat sampah, dan mulai melipatnya. Buku-buku panduan manga yang tersebar di dekat TV juga dibereskannya. Kasurnya ia tarik supaya terlihat lebih rapi. Bantalnya ia angkat, ditepuk-tepuk untuk menghilangkan debunya.
Vea terkejut. Ia terkejut sekali ketika melihat sebuah barang yang dilihatnya tepat di bawah bantal. Ia mengambilnya. Sebuah pigura. Ukurannya tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Ada Marcell disana. Tidak sendiri. Bersama kedua orang tuanya. Yang dibencinya. Vea yakin, sangat yakin bahwa Marcell tidak benar-benar membenci orang tuanya. Marcell membenci mereka, mungkin supaya dia bisa menganggap bahwa mereka tak dibutuhkan, sehingga bisa mengurangi rasa sedih dan kecewa atas perlakuan kedua orang tuanya, supaya dia bisa berpura-pura kuat tanpa kehadiran orang tuanya di sisinya. Dan mungkin, di lubuk hati Marcell yang terdalam, terdapat ruang khusus untuk kedua orang tuanya. Yang disayanginya.
”Ve? Kamu lagi ngapain? Pi.. Pigu..ra?!” sahut Marcell tiba-tiba di ambang pintu kamar. Wajahnya terlihat panik sekali. Merasa rahasia yang selama ini ia simpan, terlalu cepat untuk terkuak begitu saja. Ia merasa bahwa ini belum waktunya. Dan Vea, membuat semuanya terasa begitu sia-sia.
Vea kaget. Cepat-cepat ia menyembunyikan pigura yang tadi dipegangnya. Namun tidak berguna. Mengingat Marcell juga sudah mengetahuinya.
”Cell?! Ng.. Aku.. Aku ga.. Aku ga tau. Beneran. Aku.. Aku ga sengaja. Ma.. Maaf.” Vea menunduk. Merasa bersalah.
”Bukan salah kamu,” Marcell menghampiri Vea dan duduk di tepi kasur.
Vea menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan,
”Bilang sama aku, kamu ga bener-bener ngebenci orang tuamu kan?”
Marcell diam. Pandangan matanya menerawang. Tak dapat terbaca,
”Awalnya aku sempet benci. Tapi aku ga bisa, rasa sayangku sama mereka melebihi rasa benci yang aku rasain. Semakin lama, rasa benciku semakin berkurang, dan justru rasa sayangku lah yang tumbuh semakin besar. Aku ga tau. Aku bingung. Aku bersikap pura-pura membenci mereka, supaya rasa sayangku sama mereka tidak tumbuh lagi semakin besar. Karena bila itu terjadi, aku bakal lebih membutuhkan mereka. Yang ujungnya, pasti aku yang kecewa. Karena mereka yang aku butuhkan tidak ada. Tapi semakin aku berpura-pura membenci mereka, aku semakin sakit. Aku bingung banget, Ve. Aku juga bingung, harus ngerasa marah atau terima kasih sama kamu. Tapi jujur, aku ngerasa lega banget bisa cerita ini semua.”
Vea masih mendengarkan,
”Aku ga bisa ngebenci mereka, Ve. Aku sayang. Sayang banget. Tapi mereka ga pernah ngerti betapa aku sangat menyayangi mereka. Mereka selalu sama seperti dulu. Selalu sibuk dan tidak peduli terhadapku. Sekarang aku udah gede, Ve. Aku sekarang sudah bisa berpikir. Tidak seperti dulu lagi. Aku sedikit-demi sedikit mulai mengerti mereka. Tapi kenapa mereka tidak mengerti aku, Ve? Aku dulu pernah bilang, bahwa suatu saat nanti aku tidak membutuhkan mereka. Tapi aku ga bisa. Aku tetep butuh mereka, apalagi setelah...” Marcell menggantung kalimatnya.
”Setelah apa?” tanya Vea.
Marcell menelan ludah, ”Setelah aku didivonis dokter kena leukimia.”
Vea kaget. Nafasnya sesak. Dia tidak percaya. Marcell selalu terlihat sehat bila bersamanya. Bagaimana bisa?
”Cell, please jangan bercanda.”
”Aku ga bercanda. Aku serius.”
”Sejak kapan? Sudah sejak kapan kamu terkena penyakit ini?” tanya Vea lagi. Tubuhnya mulai gemetar.
”6 bulan lalu. Kata dokter, leukimia selalu datang tanpa pertanda. Aku udah cukup senang bisa bertahan selama 6 bulan. Sampai check up terakhirku kemarin, dokter bilang bahwa umurku nggak lama lagi.”
Vea menangis. Menangis sekeras-kerasnya.
”Kenapa kamu ga pernah bilang sama aku, Cell? Apa persahabatan kita ga bisa dijadiin alasan buat kamu ngasih tau aku? Dan kamu ngasih tau aku baru sekarang? Saat umurmu tinggal sebentar lagi? Cell, aku butuh kamu. Aku juga sakit, Cell. Aku kena gagal ginjal. Kamu tahu itu. Dan ini udah parah. Siapa yang bakal hibur aku ketika aku menyerah kalau nanti tak ada orang yang akan mendonorkan ginjalnya untukku?”
Marcell tersenyum, ”Maafin aku, Ve. Aku ga tega sama kamu, makannya aku nyembunyiin ini semua. Kamu jangan khawatir, aku akan selalu ada di sampingmu. Walau ragaku sudah tiada nantinya, aku selalu ada nemenin kamu, Ve. Di sini. Di hati kamu. Aku selalu ada di situ asal kamu selalu nginget aku. Dan nanti, pasti ada yang mau ngedonorin ginjalnya buat kamu. Aku yakin, suatu saat nanti. Kamu yang sabar ya.”
Vea masih sesenggukan, ia mencoba mengatur lagi nafasnya. Lalu bertanya, ”Apa orang tuamu tahu?”
”Enggak. Aku ga mau bikin mereka memikirkanku. Pasti pekerjaan mereka bakal berantakan jika mereka memikirkan penyakitku. Aku ga mau itu, karena orang tuaku sangat mencintai pekerjaannya. Melebihiku. Aku ga mau bikin mereka repot nanti.”
”ENGGAK BISA! Kamu ga bisa gitu dong, Cell. Kamu bilang sendiri kan kalo kamu butuh mereka? Kamu jangan terlalu baik! Aku yakin orang tuamu pasti lebih memilihmu. Hanya mereka belum sadar aja bahwa kamu adalah anak yang patut untuk di perjuangkan. Melebihi perkerjaannya! Dan sekarang, aku yang akan menyadarkan mereka!”
Vea bangkit, tapi Marcell menahannya.
”Udahlah, Ve. Ga ada gunanya. Lagipula aku lebih ingin mereka sadar dengan sendirinya”
Vea tidak menjawab.
”Percaya sama aku. Seseorang lebih baik berubah karna dirinya sendiri, bukan karna pengaruh orang lain.”
Vea mengangguk. ”Kamu tahu bahwa aku selalu percaya sama kamu.”
Marcell tersenyum.
”Sekarang kamu keluar dulu. Aku mau ganti baju.”
”Hehe, maaf.” Vea nyengir.
”Jangan nangis lagi ya, kalau nangis kamu jelek banget.” canda Marcell.
Secepat kilat Vea melempar sandalnya ke arah wajah Marcell. Tapi secepat guntur juga Marcell menangkisnya. Vea tersenyum nanar. Lalu keluar kamar dengan memakai satu sandal.
![]() |
Marcell meninggal 2 bulan kemudian. Hari ini, adalah hari pemakamannya.
Orang tua Marcell begitu terpukul atas kepergiannya. Lebih lagi karena mereka sama sekali tidak tahu mengenai penyakit putra tunggalnya. Mereka merasa menyesal sekali telah bersikap buruk selama hidup Marcell yang singkat. Mereka juga merasa tidak memberikan sejentikpun kebahagiaan di hidup Marcell. Kini mereka baru sadar, bahwa mereka telah menjadi orang tua yang gagal. Mereka tidak tahu bahwa Marcell begitu menyayangi mereka. Marcell mencoba mengerti kesibukannya. Tapi kenapa mereka tidak mengerti anaknya? Seharusnya mereka bisa meluangkan sedikit waktunya bersama Marcell. Namun semuanya terlambat. Marcell telah pergi. Dan orang tua Marcell, hanya bisa mengenang kepergiannya.
Saat itu Vea tidak menghadiri pemakaman Marcell. Karena ia sedang operasi. Ya, akhirnya Vea mendapatkan donor ginjal yang pas untuknya. Marcell benar, ia hanya perlu bersabar.
Vea membuka matanya, di rumah sakit. Di sampingnya ada bunda, ayah, dan kak
Theo. Tidak ada Marcell. Kali ini Vea benar-benar merasa ada yang kurang tanpa kehadiran Marcell.
”Sayang, udah bangun? Alhamdulillah ya kamu dapet donor. Bunda seneng banget. Gimana
perutnya? Masih sakit nggak habis operasi tadi?” ujar bunda Vea sambil memegang erat tangan Vea.
Vea hanya bisa tersenyum tipis. Lalu menggeleng.
”Bunda baru inget. Ini. Surat terakhir dari Marcell, untuk kamu.”
Vea duduk dan mengambil surat tadi. Dia membaca tulisan di depan amplop. Untuk: Vea. Lalu membukanya.
Hai, Ve. Mungkin ketika kamu membaca surat ini, aku sudah tidak ada di dunia ini. Benar, kan? Karena aku telah memperhitungkan umurku. Aku ingin kamu membaca surat ini tepat di hari pemakamanku. Aku mau minta maaf. Maaf karena aku sudah tidak bisa menjagamu lebih lama lagi di dunia. Tapi aku masih menjagamu di sini, Ve. Di duniaku. Disini aku akan selalu mengingatmu. Aku juga akan selalu di sampingmu. Seperti kataku dulu. Aku akan selalu nemenin kamu. Di hati kamu. Aku selalu ada di situ asal kamu selalu inget aku. Aku juga senang bisa ngasih kenangan terakhir buat kamu. Ginjalku. Aku berpesan kepada dokterku untuk memberikan ginjalku untukmu sebelum aku mati. Setidaknya, aku masih bisa membuatmu senang. Terus inget ya, kamu ga boleh nangis lagi. Karena apa? Karena kalau nangis kamu itu jelek, jeleek banget hehe. Makannya jangan nangis lagi ya. Aku juga mau bilang makasih. Makasih kamu telah membikin hidupku lebih berarti. Kamulah yang menjadi alasan aku ingin tetap hidup. Makasih juga untuk keluargamu. Yang selalu ada buat aku. Kak Theo juga. Aku ga tahu gimana caranya ngebales semua kebaikan keluargamu. Terimakasih.
Marcell
Air mata Vea sudah tak tertahankan lagi. Vea merunduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis, menangis sekencang-kencangnya.
’Maafin aku, Cell. Aku nangis. Maafin aku, aku ga ngikutin kata-kata kamu. Aku gabisa nahan air mata ini, Cell. Kamu terlalu berharga buat aku. Maafin aku.’ Ucap Vea dalam hati. Ia masih menangis. Bunda yang juga menitikkan air mata menghampiri Vea. Lalu menyandarkan kepala Vea di bahunya.
”Marcell tidak pergi, Ve. Marcell selalu ada di hati kamu, aku, kita semua.” sahut Kak Theo sambil menepuk bahu Vea pelan.
’Aku tahu. Aku tahu bahwa kamu selalu ada di hati aku. Karna sampai kapanpun, aku akan selalu inget kamu, Cell. Selalu.’
Best friend will be come in every time
In sad or glad time
Without a best friend
We’ll be mouldy
Like a bamboo which be eaten by termite
Like a hole stem
Our heart will be empty
If we don’t fill it with friend
Bacause it’s all in our life
Langganan:
Postingan (Atom)